Kembalikan Gengsi Kultur Sulawesi Selatan

Kembalikan Gengsi Kultur Sulawesi Selatan

Penulis: Lutfie Natsir, SH, MH

“Jangan pernah bohongi nalarmu, oleh karena itu engkau gadaikan kejujuran dan hati nuranimu. Kalau itu engkau lakukan, maka kelak engkau akan kehilangan segalanya termasuk harga diri, gengsi dan derajatmu “ ( kutipan dari Buku The SYL Way, I Love my Job ) ”

Bacaan Lainnya

Sulawesi Selatan merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang dikelilingi banyak pulau, didiami oleh masyarakat yang heterogen yang saling menghargai, dan menghormati satu sama lainnya. Oleh karenanya, wilayah Sulsel memiliki banyak keunikan tradisional dimana salah satunya adalah keanekaragaman suku. Sulsel memiliki 4 suku besar, diantaranya Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Toraja dan Suku Mandar. Dalam kehidupan sehari – harinya, masyarakat Bugis – Makassar masih terikat kaidah norma, nilai kehidupan dan aturan – aturan adat yang sakral.

Di Sulawesi Selatan terdapat budaya yang menjadi ciri khas masyarakatnya, yaitu budaya “sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi”. Budaya ini menjadi prinsip dasar yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Bugis – Makassar, dimana jika diartikan kedalam bahasa Indonesia berarti saling memanusiakan, saling mengingatkan dan saling menghargai. Sorotan kultur masyarakat masyarakat Bugis – Makassar penuh dengan nuansa religi, hikmah, etika dan estetika, perasaan dan kejujuran yang dihajatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellenge na towalie yang mempunyai arti tatkala layar terkembang, kemudi telah terpasang, lebih baik karam daripada surut ke pantai, filosofi ini merupakan fighting spirit dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai keinginan yang dicita – citakan. Peribahasa ini berasal dari pepatah kaum pelaut di Sulawesi Selatan yang terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya. Para pelayar dari tanah Sulawesi Selatan memang selalu digambarkan sebagai pelaut yang teguh dan pantang menyerah dalam mengarungi samudera. Inilah yang kemudian dijadikan falsafah hidup dalam masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis – Makassar, dimana digambarkan bahwa pelaut Bugis – Makassar tidak akan berlayar sebelum segala hal diperiksa dan dicermati secara teliti. Begitupun dalam hal kepemimpinan, falsafah hidup ini juga menjadi pegangan para pemimpin Sulawesi Selatan yang melambangkan keberanian menjalankan sebuah prinsip dan berdasar pada pertimbangan dan persiapan yang matang.

Seorang pemimpin tidak boleh menyatakan dirinya benar dan pintar sendiri, akan tetapi seorang pemimpin harus memberi energi dan memaksimalkan seluruh potensi dan sumber daya yang ada untuk kepentingan dan kemasyalahatan masyarakatnya. Seorang pemimpin setidaknya harus mempunyai sifat leadership, yaitu; mengarahkan, menggerakkan, mengendalikan dan mensejahterakan. Sebuah adagium mengatakan bahwa tidak ada anak buah yang salah, kalaupun ada yang salah itu berarti kesalahan ada pada pemimpinnya karena tidak dapat mengarahkan, menggerakkan serta mengendalikan anak buahnya dan orang sekitarnya.

Pemimpin yang baik dan amanah adalah pemimpin yang harus senantiasan menjaga marwah – marwah pemerintahan. Menjaga harkat serta martabat masyarakatnya. Pemerintah harus hadir pada setiap hajat hidup masyarakat. Mendahulukan kepentingan orang banyak dan masyarakat, bukan semata – mata mendahulukan kepentingan – kepentingan pragmatis pribadi dan kelompok – kelompoknya. Pemimpin yang baik dan bertanggungjawab adalah pemimpin yang berani mengambil resiko untuk mengambil kebijakan – kebijakan pemerintahan dengan tetap memperhatikan azas umum pemerintahan yang baik dan tidak ada manrea atau itikad melakukan perbuatan tercela yang melanggar hukum.

Di era modern sekarang ini, perkembangan teknologi digitalisasi seakan – akan menembus ruang dan waktu. Tentunya pemimpin yang baik dan benar dapat mengadaptasi perkembangan dan akselerasi kehidupan masyarakat yang sangat dinamis dan kompleks, dengan tetap memegang teguh prinsip – prinsip kebenaran dan falsafah leluhur.

Dalam budaya Bugis – Makassar, terdapat budaya kepemimpinan “siri’ na pacce” dimana siri’ berarti malu dan pacce berarti rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, semangat rela berkorban, bekerja keras dan pantang mundur juga dapat dianalogikan sebagai pendirian yang kokoh. Istilah siri’ na pacce ini merupakan salah satu nilai kepemimpinan yang sangat sulit didefinisikan namun mengakar di tubuh para pemimpin Sulsel. Karena diyakini bahwa para pemimpin yang menganut budaya ini akan membawa masyarakatnya menuju ke arah yang lebih baik.

Pada hakikatnya, pemimpin yang baik senantiasa menggunakan nalar dan nuraninya untuk melihat kebutuhan masyarakat. Pemimpin yang baik senantiasa hadir dan menjamin keberlangsungan aktivitas masyarakat. Dan yang paling utama adalah seorang pemimpin senantiasa melindungi masyarakatnya seperti cita – cita dan tujuan konstitusi kita, Undang – Undang Dasar 1945 yaitu negara hadir untuk melindungi segenap warga negaranya, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakatnya.

Oleh karena sistem pemerintahan kita menganut rezim periodenisasi, dan menjadi preseden bahwa sebagian pemimpin pemerintahan mengdeletimasi bahkan mereduksi program keberhasilan dan prestasi yang diraih oleh pendahulunya, bahwa pemimpin itu selayaknya mengimplementasikan nilai nilai luhur falsafah Bugis – Makassar, dalam setiap gerak langkah kebijakan pemerintahan serta senantiasa menjaga kelestarian falsafah Bugis Makassar, sehingga menjadi suri tauladan yang akan diingat dan diikuti oleh generasi yang akan datang,

Pemimpin adalah pengejawantahan atau mewakili harkat dan martabat dan kehormatan masyarakatnya, oleh karena itu pemimpin harus jujur, arif dan bijaksana, kalau seorang pemimpin berbuat curang dan nista maka akan mendegradasi harkat, martabat dan kehormatan masyarakatnya.

Sebagai penutup, semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan kepada kita semua mengenai kultur kepemipinan di Sulawesi Selatan. Jangan pernah bohongi nalarmu, satukan nalar dan hati nurani maka seluruh aktivitas menjadi berkah dan bernilai ibadah, Wallahu A’lam Bishawab Jazakkalahu Khairan.(*)