Jalan Terjal Vaksinasi Covid-19 di Daerah Terpencil (Bagian 2)

Jalan Terjal Vaksinasi Covid-19 di Daerah Terpencil (Bagian 2)

Menjalankan program vaksinasi Covid-19 di sejumlah daerah terpencil di Sulawesi Selatan bukan perkara mudah. Petugas vaksinasi harus berjibaku dengan kondisi geografis yang buruk hingga kuatnya penolakan warga. Bagaimana seharusnya pemerintah merespons kondisi ini?

Warga Menolak Vaksin

Bacaan Lainnya
 

Selain kondisi geografis, penolakan masyarakat juga menjadi kendala yang cukup serius dalam menyukseskan vaksinasi di daerah terpencil, baik di darat maupun di kepulauan. Masifnya penolakan masyarakat ditemukan di sejumlah daerah terpencil, salah satunya di Dusun Tabuakkang, Desa Kahaya.

Untuk menuju ke sana, dibutuhkan waktu hingga tujuh jam dari Makassar. Perjalanan tak semudah dibayangkan, karena letak Dusun Tabuakkang berada di ketinggian 1600 meter dari permukaan laut. Karena letaknya berada di ketinggian, maka kendaraan harus melewati banyak jalan menanjak dan berkelok. Jurang di setiap pelipir jalan semakin menambah sisi ekstrem daerah tersebut.

Anita (bukan nama sebenarnya), warga Dusun Tabuakka saat dikunjungi di warung kopinya mengatakan, di daerah tersebut,  masih banyak warga yang tak percaya Covid-19 dan vaksin. Krisis kepercayaan tersebut membuat mereka enggan untuk menerima vaksin.

Meski demikian, sedikit demi sedikit warga sudah mulai mengikuti program vaksinasi karena alasan pragmatis: agar bisa mengurus dokumen di  institusi pemerintahan dan mendapatkan bantuan sosial. Namun, masalah di Dusun Tabuakkang tak sesederhana itu. Meski sudah ada iming-iming bantuan sosial, namun usaha tersebut tidak cukup membuat semua warga Desa Kahaya ingin divaksin.

Sambil menuangkan air panas ke dalam gelas, Anita bercerita, ada sejumlah warga, umumnya laki-laki yang bekerja sebagai petani, tetap tidak mau menerima vaksin. Mereka merasa tidak memiliki mobilitas yang tinggi. Sehingga mereka percaya Covid-19, jika pun virus itu ada, tidak bakal menginfeksi mereka. “Ceritanya mereka hidup di kebun, di sana mereka jaga jagun. Mereka bilang saya tidak ke pasar, saya tidak ke mana-mana, saya tidak akan kena korona,” ujarnya.

Selain itu, banyak warga yang menolak menerima vaksin karena merasa dirinya sedang sakit. Anita salah satunya. Dia menolak menerima vaksin karena memiliki riwayat sakit kepala. Bahkan dokter menyuruhnya melakukan CT Scan untuk mengetahui secara detail penyakit seperti apa yang dideritanya. Meski awalnya menolak. Namun karena desakan vaksinator, Anita akhirnya bersedia diberi vaksin dosis pertama. “itu karena dipaksa. Andai saya tidak dipaksa, saya tidak mau,” ujarnya.

Antia sempat kesal karena Ia meminta pertanggungjawaban jika dikemudian hari terjadi suatu hal pada dirinya, namun tak ada satu pun vaksinator yang bersedia bertanggungjawab. Merasa kecewa dengan para vaksinator, akhirnya dia tidak melanjutkan vaksinasi ke dosis kedua dan ketiga.

Di sisi lain, Anita takut untuk melanjutkan proses vaksinasinya karena dia merasa efek yang dihasilkan vaksin pada terlalu lama. Kondisi tersebut semakin meyakinkan Anita untuk tak lagi menyentuh vaksin.  “Vaksin kedua datang terus itu orang (vaksinator) ke rumah. Dia tanya sudah vaksin kedua? Saya bilang sudah. Padahal belum,” ujarnya sambil cekikikan mengenang masa itu.

Anita merasa jika vaksinator yang datang ke desanya cenderung memaksa warga untuk divaksin, meski warga memiliki riwayat penyakit. Selain dia, pernah ada seorang warga yang sudah menerangkan jika dirinya memiliki riwayat ginjal, tapi tetap diminta untuk menerima vaksin. Saat itu, terjadi perdebatan antara warga dan vaksinator di Kantor desa, lokasi penyelenggaraan vaksin. “Berderbat orang di kantor desa kenapa mau dipaksa padahal dia sudah bilang kalau dia ada sakitnya,” ujarnya.

Anita dan beberapa warga desa saat itu semakin kesal, karena dokter yang hendak menyuntik vaksin ibu yang berpenyakit ginjal itu marah-marah dan mengeluarkan makian. Namun, sampai dokter itu marah-marah pun warga tetap ngotot agar perempuan paruh baya itu tidak disuntik vaksin. “akhirnya tidak jadi, karena kami juga ngotot,” ujarnya.

Cerita Anita di atas adalah sebuah fragmen yang menggambarkan kesadaran negatif masyarakat mengenai vaksin. Penolakan tersebut tak hanya terjadi di Kahaya, namun di daerah terpencil lainnya. Sehingga jadi penegasan jika masyarakat daerah terpencil memiliki kecenderungan yang kuat dalam menolak vaksin, yang berdampak pada terhambatnya proses vaksinasi.

Di Dusun Tallasa misalnya, tak hanya menjadikan akses sebagai kendala dalam proses vaksinasi, namun juga penolakan masyarakat.  Kepala Dusun Tallasa, Rusman mengaku masih ada warganya yang belum menerima vaksin. Selain karena beralasan sakit, masih banyak warganya yang secara terang-terangan tak percaya Covid-19 dan vaksin.

Rusman mengatakan, penolakan tersebut terjadi karena banyak warganya yang terpapar hoaks lewat  pemberitaan media. “Mereka takut mau divaksin. Katanya berbahaya karena dia lihat di media, yang hoaks- hoaks itu. Katanya vaksin berbahaya, tidak ada ji Korona,” ujarnya.

Hoaks tentang Covd-19 dan vaksin juga menyeberang ke pulau dan menginfeksi warga Kecamatan Liukang Kalmas maupun warga Kecamatan Liukang Tangaya. Baik Ayu maupun Jojo memiliki cerita yang sama tentang warga di pulaunya masing-masing: sama-sama menolak vaksin. Mereka baru mau ikut vaksinasi agar bisa mendapatkan doorprize maupun bantuan sosial.

Tingkat Vaksinasi Rendah

Kondisi geografis yang sulit dan kuatnya penolakan warga terhadap vaksin berbanding lurus dengan rendahnya vaksinasi Covid-19 di sejumlah daerah terpencil di Sulawesi Selatan.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Maros, per 10 Mei 2022, tingkat vaksinasi dosis pertama di Desa Samangki sebesar 38,31%, dosis kedua sebesar 14,99%, dan dosis ketiga sebesar 0,05 %. Sebagai catatan, data tersebut hasil input dari aplikasi p-care puskesmas setempat, sehingga kurang akurat.

Meski demikian, Kepala Dinas Kesehatan Maros, Muhammad Yunus memastikan data tersebut dapat dijadikan sample. Sementara, secara keseluruhan, Kabupaten Maros adalah salah satu daerah dengan tingkat vaksinasi rendah.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Sulsel, per 8 Mei 2022, tingkat vaksinasi dosis pertama Maros sebesar 84,15% atau masuk tujuh besar terendah di Sulsel, dosis kedua sebesar 52,77% atau masuk  lima besar terendah di Sulsel, dan dosis ketiga sebesar 7,25 %.

Di Desa Kahaya, tingkat vaksinasinya juga cukup memprihatinkan. Berdasarkan data per 22 Maret 2022, yang diterima dari salah seorang penyuluh di kecamatan Kindang, tingkat vaksinasi dosis pertama di Desa Kahaya sebesar 45,09%, dosis kedua sebesar 22,20%, dan dosis ketiga sebesar 0,46 %.

Sementara, secara keseluruhan, Kabupaten Bulukumba juga termasuk daerah dengan tingkat vaksinasi rendah. Per 8 Mei 2022, tingkat vaksinasi dosis pertama Bulukumba sebesar 83,70% atau masuk lima besar terendah di Sulsel, dosis kedua sebesar 54,14% atau masuk  lima besar terendah di Sulsel, dan dosis ketiga sebesar 4,83 %.

Meski Pangkep memiliki tingkat vaksinasi yang cukup tinggi dibanding Maros dan Bulukumba, namun beberapa daerah kepulauan Pangkep masih memiliki tingkat vaksinasi rendah. Dosis pertama, rata-rata sudah di atas 70%. Tapi untuk vaksin dosis kedua, beberapa daerah kepulauan masih terbilang rendah. Salah satunya adalah Liukang Tangaya yang baru mencapai 51,62%. Sementara Kecamatan Liukang Tupabiring Utara mencapai 52,27%.

Reporter : Muhajir