Jalan Terjal Vaksinasi Covid-19 di Daerah Terpencil (Bagian 3, Selesai)

Jalan Terjal Vaksinasi Covid-19 di Daerah Terpencil (Bagian 3, Selesai)

Menjalankan program vaksinasi Covid-19 di sejumlah daerah terpencil di Sulawesi Selatan bukan perkara mudah. Petugas vaksinasi harus berjibaku dengan kondisi geografis yang buruk hingga kuatnya penolakan warga. Bagaimana seharusnya pemerintah merespons kondisi ini?

Mencari Jalan Keluar

Bacaan Lainnya
 

Untuk mengatasi tantangan dan hambatan vaksinasi di daerah terpecil, pemerintah dan vaksinator mengerahkan berbagai macam cara. Untuk daerah Kepulauan Pangkep, Pemerintah mengalokasikan vaksin Janssen. Kepala Dinas Kesehatan Pangkep, Herlina mengatakan, masalah utama di daerah kepulauan adalah akses dan cuaca.

Sehingga agak susah buat pemerintah untuk datang secara rutin, apalagi jika daerah tersebut masuk dalam kategori pulau terluar. Dengan vaksin janssen yang didapatkan dari Pemprov Sulsel, warga tak perlu lagi diberikan vaksin dosis kedua. Secara teknis, hal tersebut dianggap membantu menaikkan capaian vaksinasi.

“Kalau vaksin Janssen tidak perlu vaksin kedua. Begitu sudah vaksin pertama dia sudah terinput juga vaksin keduanya. Jadi vaksin Janssen yang diberi Provinsi saya kasih ke pulau. Itu cara mengatasi masalah akses yang susah dan cuaca. Terutama untuk daerah Liukang Tangaya dan Liukang Kalmas,” ujarnya.

Di samping itu, pihaknya juga menggandeng TNI. Karena anggota TNI dianggap lebih profesional dalam menghadapi medan berat. “Makanya setelah ada dukungan lintas TNI dari desa baru ada peningkatan yang cukup bagus. Kemitraan jadi strategi menaikkan minat masyarakat untuk vaksin,” ujarnya.

Untuk masalah penolakan masyarakat, Herlina mengakui hambatan tersebut cukup berat untuk diatasi. Bahkan sampai sekarang, masih banyak warga pulau yang menolak vaksin meskipun sudah berulang kali dierikan edukasi. Di sisi lain, Herlina tak ingin ada pemaksaan dalam menyukseskan vaksinasi.

Olehnya itu, jalan satu-satunya adalah meminta pihak puskesmas untuk lebih rajin lagi datang ke masyarakat melakukan edukasi, sampai pikiran mereka sadar manfaat vaksin. “Kalau kita kunjungi berulang-berulang dibujuk secara humanis sampai tak ada penolakan,” ujarnya.

Sementara di Bulukumba, vaksin door-to-door (rumah ke rumah) menjadi strategi dalam mengatasi kendala geografis. Salah satu vaksinator Kecamatan Kindang, Faizal mengatakan, jika warga yang jauh di pedalaman desa sulit datang ke lokasi vaksin, maka mereka yang datang berkunjung ke rumah warga.

Melelahkan, kata Faizal. Karena setiap hari tim vaksinator harus berurusan dengan medan berat Desa Na’na dan Kahaya. Apalagi jika musim hujan, akses menuju Na’na semakin sulit karena jalanan berlumpur. Sehingga para vaksinator harus berjalan kaki.

Namun, Faizal sebenarnya tak terlalu risau dengan keadaan tersebut. Sebagai warga Desa Kahaya, dia mengaku sudah terbiasa dengan lingkungan alam yang berbahaya di daerah pedalaman. Dia hanya selalu memikirkan teman-teman vaksinatornya yang terbiasa hidup di kota.

Rasa lelah itu sangat terasa, sekaligus menguji nyali dan totalitasnya sebagai vaksinator.  “Ada beberapa teman-teman tim vaksin kan dia orang kota jarang mendapatkan akses seperti di Desa Na’na dan Kahaya jadi dia rasakan betul lelah dan capek,” ujarnya.

Untuk mengatasi penolakan masyarakat, para vaksinator di Kecamatan Kindang menggencarkan sosialisasi khususnya di Na’na dan Kahaya. Faizal mengakui jika banyak masyarakat menolak karena terpapar informasi yang tidak benar soal vaksin dan Covid-19.

Melalui sosialisasi para vaksinator memperkuat edukasi agar masyarakat memiliki padangan positif tentang vaksin.  “Tapi setelah berapa kali sosialisasi memberi pemahaman lambat laun masyarakat mulai percaya. Jadi kita sudah tidak kesulitan memberikan vaksin. Terkecuali yang tinggal di daerah jauh dari puskesdes yang aksesnya sulit termasuk yang tidak punya motor. Itu yang mesti didatangi oleh teman-teman,” ujarnya.

Ada pun di Maros, vaksin door-to-door juga menjadi pilihan mengatasi masalah geografis. Kepala Dinas Kesehatan Maros, dr. Muhammad Yunus menyadari kondisi geografis daerah terpencil Maros kerap menjadi kendala dalam melakukan vaksinasi di daerah terpencil.

Bukan hanya di Dusun Tallasa, namun daerah terpencil lain seperti di Desa Bonto Somba kadang terhambat dalam hal vaksinasi karena desa tersebut memiliki medan berat. Pemerintah pun akhirnya memberlakukan sistem door-to-door.

Berharap dengan sistem tersebut rumah warga yang berada di pedalaman dapat dikunjungi langsung oleh vaksinator. Hal tersebut dilakukan agar warga tak repot lagi untuk harus ke lokasi vaksin. “Program door-to-door sudah lama dilaksanakan di Maros, Dinda. Tapi untuk saat ini standby lagi di puskesmas masing-masing,” ujarnya.

Selain itu, Pemda Maros juga bekerjasama dengan stakeholder lain. Salah satunya dengan merangkul  komunitas Indonesian Off Road Federation (IOF).  Pada Desember 2021, Pemerintah dan IOF berkolaborasi untuk melakukan vaksinasi di Desa Bonto Somba.

Para anggota dari IOF bertugas menjemput warga yang berada jauh di pedalaman Bonto Somba yang berbatu, berlumpur, dan dibelah oleh sungai. Karena desa tersebut lebih mudah diakses dengan mobil offroad.

Untuk mengatasi penolakan warga, Pemeritah Maros memperkuat sosialisasi. Yunus mengatakan,  masyarakat daerah terpencil menolak vaksin karena kesadaran hidup sehat mereka belum terbentuk . “Kendalanya hampir sama semua, masalah kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan vaksinasi masih kurang,” ujarnya.

Olehnya itu, Pemerintah daerah Maros saat ini memperkuat kolaborasi. Sejumlah stakeholder mulai dari  Pemda, TNI, dan Polri bersama-sama turun ke lapangan dalam rangka mengedukasi masyarakat terpencil  akan pentingnya vaksinasi. Soialisasi ini juga digelar secara rutin. 

Perlu Diprioritaskan

Adanya sejumlah daerah terpencil dengan tingkat vaksinasi rendah, mengharuskan pemerintah untuk lebih memprioritaskan warga daerah terpencil dalam mendapatkan vaksinasi. Epidemiolog Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof. Dr. Ridwan Amiruddin mengatakan, perlunya daerah terpencil diberi prioritas untuk mencegah tingkat penularan Covid-19.

Ridwan tak membenarkan adanya anggapan warga daerah terpencil jika mereka tak bisa terpapar Covid-19 karena mobilitas kecil dan hanya beraktivitas di area kampung saja. Karena  di kondisi saat ini, sulit rasanya mengisolasi diri secara mutlak.  “Contoh Korea Utara, sekarang baru terjadi tsunami Covid-19, meski negara yang tertutup. Cepat atau lambat pandemi akan sampai mengikuti pergerakan populasi,” ujarnya.

Olehnya itu, meski terpencil dan jauh dari hiruk pikuk kota, warga daerah terpencil tetap harus memperkuat imunitas tubuhnya. Saat ini, kata Ridwan, vaksinasi dan protokol kesehatan adalah solusi terbaik mengatasi Covid-19 bahkan untuk daerah terpencil.  “Saya lihat daerah terpencil juga sekarang  sudah mendapat prioritas vaksin,” ujarnya.

Adapun kendala vaksinasi di daerah terpencil, seperti penolakan masyarakat atas vaksinasi, Ridwan melihat hal tersebut dapat diatasi melalui komunikasi risiko dan literasi kesehatan.  Hanya dengan itu, warga daerah terpencil dapat diajak untuk terlibat pada program vaksinasi pemerintah. “Untuk aspek ini, satgas, camat, lurah, babinsa harus lebih pro aktif menyosialisasikan manfaat program vaksin. Di sini pentingnya kolaborasi, untuk kemaslahatan warga, jadi ini tugas bersama,” ujarnya.

Sementara Senior Advisor AIHSP (Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan) dr. Anung Sugihantono mengatakan, pemberian vaksin pada masyarakat terpencil perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah, atas dasar prinsip equity. Sebab pada prinsipnya, semua orang punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa memandang kelompok atau jumlah penerimanya.

Anung mengatakan, jika ada satu kelompok yang hanya berjumlah 50 orang dan untuk ke sana membutuhkan biaya 50 juta rupiah, maka vaksinasi tetap harus dilakukan.  “Itu prinsip kesetaraan dalam memberi pelayanan. Sebagai tanggung jawab, itu harus dilaksanakan meskipun angkanya kecil gitu yah. Maksudnya yang hanya bisa di-cover hanya 10, 20, 50, sampai 100 ini yang juga mohon dipahami, kesehatan itu harus diupayakan dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.

Terkait maraknya masyarakat terpencil menolak vaksin, Anung memandang hal tersebut terjadi karena dua faktor. Pertama adalah karena faktor enabling seperti akses, tenaga kesehatan terbatas, dan tenaga kesehatan yang kurang ramah atau tidak pandai menjelaskan tentang hal-hal terkait vaksin dengan bahasa yang mudah dipahami.

Kedua, penolakan tersebut bisa juga terjadi karena faktor predisposing, seperti masalah keyakinan, pendapat, atau kepercayaan. Anung mengatakan, faktor-faktor tersebut harus diskenariokan baik pemerintah maupun tenaga kesehatan. Agar bisa menciptakan strategi komunikasi risiko yang lebih efektif.

“Nah untuk itu berulang kali saya mengingatkan dalam konteks mencapai target vaksin yang diharapkan harus spesifik di masing-masing daerah melihat predisposing factor-nya seperti apa dan enabler-nya seperti apa, reinforce-nya seperti apa. Ini bisa dipakai untuk pendekatan-pendekatan dalam rangka mewujudkan capaian vaksin yang lebih baik lagi pada kedepan,” jelas Anung.

Mengenai pemberian vaksin janssen untuk mengefisienkan proses vaksinasi di pulau terluar, Anung menekankan jika pemberian vaksin lebih baik dilakukan sesuai tahapan yang benar. Namun, jika vaksin janssen dipilih karena pertimbangan operasional, usaha tersebut tak jadi masalah. Yang menjadi tugas penting untuk di daerah terpencil adalah bagaimana masyarakat tidak lagi menolak vaksin.

“Karena maaf di beberapa daerah ada yang mengaitkannya dengan halal-haramnya. Di daerah lain ada interaksi penyakit komorbid pada jenis vaksin tertentu. Dari sisi kesehatan itu apakah sudah ada studi efikasi pada kelompok tertentu dan pada jenis tertentu. Misalnya sinovac tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah 5 tahun karena ada studinya,” ujarnya.

Sedangkan pemberian vaksin karena iming-iming doorprize dan bantuan sosial, Anung memandang, strategi tersebut tak apa-apa dilakukan, sepanjang penyadaran tentang Covid-19 dan vaksin tetap menjadi prioritas utama untuk warga terpencil.

“Tapi secara konseptual kesadaran itulah yang harus ditempatkan di yang utama. Karena vaksin ini bukan hanya melindungi dirinya tapi keluarga dan komunitas yang ada. Tapi kalau dalam  pelaksanaannya dikaitkan dengan pemenuhan lain dari kebutuhan hidup masyarakat ya gak apa-apa itu sebagai wahana aja,” tutupnya.

Reporter : Muhajir