MAKASSAR, UPEKS.co.id — Nomenklatur sekolah mengalami perubahan. Sekolah diganti menjadi satuan pendidikan.
Beberapa kementerian terkait pun berkolaborasi menerapkan inovasi satuan pendidikan yang ramah anak. Sekolah Ramah Anak (SRA) juga berubah menjadi Satuan Pendidikan Ramah Anak.
Ada 16 kementerian dan lembaga yang berkolaborasi untuk mengakomodir semua satuan pendidikan ramah anak sejak 2020 lalu.
“Yang membedakan sekolah dan satuan pendidikan hanya nomenklaturnya saja,” ungkap Dr Zulkifli SAg MSi, Analis Kebijakan Ahli Muda Kelembagaan dan Kerjasama Direktorat KSKK Madrasah Kemenag RI pada podcast Harian Ujungpadang Ekspres, upeks.co.id, Senin 7 Februari 2022.
Zulkifli menuturkan, Kemenag bersama-sama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melakukan sosialisasi satuan pendidikan ramah anak di semua jenjang pendidikan.
Satuan pendidikan ramah anak memiliki tujuan yang sama dengan Konvensi Hak Anak. Targetnya untuk memenuhi dan melindungi hak anak ketika berada di lingkungan pendidikan.
“Menurut Konvensi Hak Anak, anak itu mereka yang berusia 18 tahun ke bawah artinya semua anak yang berada di satuan pendidikan yang berusia 18 tahun ke bawah artinya dia itu anak-anak yang merupakan bagian dari satuan pendidikan yang harus dipenuhi dan dilindungi haknya,” katanya.
Ia menilai, sistem pendidikan di Indonesia sudah menerapkan konsep ramah anak. Hanya saja, kasus kekerasan di lingkungan sekolah masih kerap terjadi.
Pasalnya, konsep pendidikan belum memiliki program-program strategis yang memberikan pendampingan terhadap siswa.
“Perlu ada program strategis yang kita sebut sebagai satuan pendidikan ramah anak,” katanya.
Dimana, ada tiga pilar dalam penerapan satuan pendidikan ramah anak. Ketiga pilar saling terkait dan harus berjalan beriringan. Ketiga pilar, yakni satuan pendidikan, orang tua dan siswa.
Ketiga pilar harus memiliki persepsi yang sama. Misalnya dalam penyusunan tata tertib satuan pendidikan. Selama ini, penyusunan tata tertib jarang melibatkan siswa.
Padahal, isi dari tata tertib memiliki potensi adanya hak anak yang tidak terpenuhi. Sementara, konsep ramah anak mengedepankan pendapat dari anak.
“Anak harus diperlakukan secara adil agar menghadirkan rasa aman dan nyaman di lingkungan satuan pendidikan,” katanya.
Rasa aman dan nyaman diyakini mampu memicu siswa dalam pengembangan potensi diri dan bisa mencapai prestasi terbaik.
Konsep ramah anak selalu mengedepankan mencari akar persoalan sebelum memberikan justifikasi. Selalu prioritaskan disiplin positif dan berprasangka baik sesuai anjuran agama Islam.
Penegakan disiplin anak harus dilakukan dengan memberikan hukuman positif. Contohnya hukuman dengan menghapal ayat suci Alquran.
Sebab, hukuman fisik dalam penegakan disiplin siswa bisa menjadi hambatan dalam pengembangan potensi anak.
“Jadi, harus dampingi anak dengan santun sehingga menjadi bisa sahabat dan orang tua pengganti bagi siswa,” katanya.
Zulkifli juga menyinggung soal hak anak yang harus dipenuhi. Salah satu hak untuk memperoleh kemajuan teknologi di satuan pendidikan.
Teknologi memangnya ibarat dua sisi yang saling bertolak belakang. Ada positif dan ada negatifnya. Karena itu, prasangka baik harus diterapkan.
“Kita harus bijak. Konsep ramah anak kedepankan sisi positif, jangan mencurigai siswa. Jika lebih percaya anak akan mampu membuka hal-hal positif,” tandasnya. (rul)