M.ARFANDY IDRIS
ANGGOTA FRAKSI PARTAI GOLKAR SULSEL
Pemerintah Daerah setiap tahun menyusun rencana kegiatan pemerintah daerah dengan Keputusan Gubernur dan dijabarkan dalam Kebijakan Umum Anggaran dan platfon program anggaran sementara.
Program anggaran ini ditetapkan melalui keputusan bersama antara DPRD dan Gubernur. Itu sebagai acuan dalam penyusunan Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Ini penting, karena bukankah APBD ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (perda) sehingga terikat dengan prinsip dan azas hukum, prosedural dan mengikat/ Sebelum APBD disahkan wajib difasiltasi oleh Kementerian Dalam Negeri setelah itu baru dapat ditetapkan.
Namun demikian seringkali dalam pelaksanaannya, APBD tersebut berbagai kendala dan hambatan yang ditemukan antara lain: (1) lambatnya konsolidasi administrasi, (2) lambatnya masuk pendapatan sehingga mempengaruhi arus kas, dan (3) beberapa kondisi adanya perubahan parsial pada bulan awal tahun berjalan.
Kondisi demikian inilah sehingga banyak memengaruhi terlambatnya proses pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah yang telah disusun dan direncanakan dalam perda APBD 2023.
Dampak dari kendala ini dapat dilihat pada daya serap anggaran dari masing masing OPD, yang kadang sudah memasuki triwulan IV masih di sekitaran 40% realisasi kegiatan maupun keuangannya. Bahkan, sebagian banyak pengelolaan program dan kegiatan yang telah disusun dan direncanakan sesuai dengan arus kas keuangan, bisa berubah begitu saja.
Malah kegiatan tersebut dihapus dengan berdalih dilakukan perubahan parsial. Anehnya, memunculkan kegiatan baru sebagai program prioritas. Bahkan, kegiatan kegiatan prioritas pemerintah yang diperuntukkan bagi mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJM) gubernur ditempatkan pada triwulan IV.
Apa lacunya? Banyak rencana yang tidak dapat terlaksana. Alasannya, karena waktu yang tidak mungkin terkejar lagi dapat melaksanakan kegiatan tuntas seluruhnya. Untuk itu perlu diwaspadai untuk pihak ketiga yang melaksanakan kegiatan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan.
Biasanya, pihak ketiga disuruh bersabar. Padahal, mereka tidak mengetahui akan terjadi bencana gagal bayar lagi. Modusnya — yang klasik — ditenggarai tidak ada uang sebagai akibat dari tidak tercapainya realisasi pendapatan.
Kondisi ini sudah berlangsung 3 tahun tanpa adanya perubahan manajemen pengelolaan keuangan daerah Sulawesi Selatan. Tampaknya Pemda Sulawesi Selatan masih belum mampu belajar menyiasati kondisi ini, sampai berulang bertahun-tahun.
Mungkin saja karena kondisi ini diketahui oleh Kemendagri karena dalam evaluasi APBD tidak ada yang signifikan dari hasil evaluasi APBD, terkhusus dari target pendapatan yang dapat dilihat dari realisasi tahun-tahun sebelumnya yang belum dapat mencapai sekitar 10 triliun lebih.
Begitu pun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaannya. Banyak hal yang seharusnya menjadi temuan. Namun demikian malah tetap memberi ppini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Padahal dengan kasat mata banyak pengecualian sehingga apa yang dilakukan selama ini dianggap sudah tepat dan benar walaupun diketahui ada beberapa pelanggaran peraturan perundang- undangan dalam menyusun dan melaksanakan APBD.
Apalagi APBD Sulsel 2024 yang tanpa adanya dokumen perencanaan sebagai patokan dalam menyusun APBD dan dokumen batang tubuh APBD 2024 yang tidak dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan program pemerintah Sulsel.
Walaupun dokumen yang ada belum direvisi, namun — anehnya — tetap disahkan oleh DPRD. Bahkan diketahui melanggar prosedur pengesahannya di DPRD karena tidak quorum.
Semoga kita semua harus sadar dan tidak kemasukan setan dalam menjalankan amanah rakyat karena dengan hal itu kita dapat menyongsong hari esok yang lebih baik.
Marilah kita terus berupaya agar mampu membiarkan pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak menyeberang ke tahun 2024. Salamaki!