Oleh: Firmansyah
BANGSA Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Keanekaragaman adat istiadat, budaya, agama, ras dan suku bangsa merupakan kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ini hendaknya bukan dijadikan ajang pemecah persatuan dan kesatuan bangsa, akan tetapi justru dijadikan alat untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Di tengah-tengah keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia diperlukan adanya sikap menghargai antara yang satu dengan yang lain. Jika sikap menghargai dapat dihadirkan, maka hidup berdampingan secara aman dan damai antara golongan yang berbeda akan dapat diciptakan. Untuk itu perlu dibentuk karakter bangsa yang mampu menghargai segala perbedaan orang lain dengan tetap menjaga komitmen terhadap identitas sendiri.
Untuk dapat membentuk karakter bangsa yang mampu menghargai perbedaan di tengah-tengah lingkungan yang kaya akan keanekaragaman bangsa, maka salah satunya dapat melalui pendidikan. Terkhusus pada pendidikan agama di lembaga pendidikan. Pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah memiliki peranan penting dalam mengembangkan karakter generasi bangsa. Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU SISDIKNAS, 2003). Melalui pendidikan nasional maka sangat diharapkan dapat meningkatkan kemampuan, keterampilan, mutu kehidupan, dan martabat sumber daya manusia Indonesia. Untuk itu, pendidikan nasional diharapkan menghasilkan manusia terdidik yang beriman, berbudi pekerti luhur, saling menghargai, berpengetahuan, berketerampilan, dan memiliki rasa tanggung jawab.
Harapan itu juga secara nyata dibenturkan dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang mempunyai kemajemukan dalam agama. Pendididikan agama yang dilaksanakan di lembaga pendidikan pada umumnya hanya memberi informasi tentang suatu agama yang dianut oleh peserta didik dalam proses pembelajaran agama. Masih kurang (bahkan tidak) mengajarkan kesiapan untuk menerima keterbukaan akan adanya kepercayaan dan agama yang berbeda, atau aliran-aliran yang berbeda dalam suatu agama. Hal ini menyebabkan para peserta didik kurang mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Di lain sisi lembaga pendidikan sebagai institusi yang dimasuki oleh setiap generasi muda dari segala lapisan masyarakat membentuk tantangan tersendiri. Keluaran dari lembaga ini sangat diharapkan mampu melanjutkan estafet kehidupan bangsa ini. Seolah menjadi tumpuan yang mendasar dan utama. Pemahaman dan karakter generasi muda yang dikembangkan dalam lembaga ini tentu akan mewarnai kehidupan masyarakat pada masa-masa yang akan datang. Lain halnya pada sekolah umum, kita tidak bisa menutupi kenyatan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mau melepas pendidikan agama di sekolah umum. Karena memang pendidikan agama sangat dibutuhkan dan penting, meski tetap ada pandangan yang beragam tentang praktek pendidikan agama.
Dengan segala tuntutan yang melekat pada generasi bangsa ini maka sinergitas antara penentu kebijakan yang menghasilkan berbagai macam aturan terhadap pelaksana harus berjalan dengan baik. Problematika inilah yang menjadi tantangan bagi pendidikan bangsa kita. Tentunya hal ini sangat erat keterkaitannya dalam mempengaruhi karakter bangsa kita. Terkhusus dalam implementasi pendidikan agama, problematika yang seperti apa saja yang dapat mempengaruhi karakter bangsa ini. Mengetahui dan mengidentifikasi problematikanya berarti telah berada pada titik awal pencarian solusi.
Dengan berbagai macam fenomena pendidikan agama yang terealisasi di sekolah-sekolah problem pendidikan agama di sekolah secara garis besar terkait dengan beberapa pokok masalah, yaitu: (1) Problem teologis yang terkait dengan sistem pendidikan agama yang bertujuan untuk membentuk/menjadikan (learning to be) peserta didik sebagai pemeluk agama yang beriman dan bertakwa.. (2) Problem politis yang berkaitan dengan “pengakuan” agama oleh pemerintah. Secara resmi pemerintah mengakui ada enam agama resmi yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Faktanya problem dialami oleh pemeluk agama lain selain enam agama tersebut. (3) Problem administratif yang dimana pendidikan agama masih dalam kategori kurang diajarkan oleh pendidik/guru sesuai dengan ketentuan, kewenangan mengajar pendidikan agama hanya oleh pendidik/guru agama. Karena kekurangan guru, seringkali pendidikan agama harus diajarkan oleh mereka “yang dianggap” tokoh padahal keahliannya di bidang studi lain. Problem “mis-match” ini dikarenakan oleh kurangnya guru agama dan sebaran guru agama. Salah satunya juga karena guru-guru pelajaran lain kurang menghadirkan nilai ajaran agama walapun saat mengajarkan pelajaran umum. Ajaran agama harus hadir di semua mata pelajaran. (4) Problem kurikuler di mana pendidikan agama kurang bahkan atau bahkan tidak sama sekali memberikan pandangan (pengenalan) pada agama lain disebabkan karena faktor muatan dan metode yang digunakan. Problem ini menjadi salah satu pemicu rendahnya sikap toleransi internal dan antar umat beragama. Kekerasan dan kecurigaan pada persoalan keagamaan sebagiannya dipicu oleh sikap tertutup dan tidak toleran terhadap pemilik keyakinan yang lain.
Dari semua masalah-masalah tersebut dengan nyata memposisikan pendidik sebagai faktor utama. Di sekolah-sekolah sesuai yang dirasakan penulis terkhusus pada tingkat sekolah dasar sangat minim ditemukan materi yang bisa meningkatkan pluralisme dalam kemajemukan. Guru beranggapan bahwasanya jika pengetahuan agama sendiri baik maka pengetahuan (dalam hal ini perlakuan) terhadap pemeluk agama yang lain akan baik. Kenyataannya di lapangan bergaul dengan pemeluk agama lain adalah sesuatu yang memiliki batasan yang tidak semestinya. Pemberian pengetahuan tentang agama lain sangat minim. Karena materi pendidikan agama hanya fokus terhadap satu agama sesuai dengan keyakinan masing-masing peserta didik. Guru selalu ingin melihat pergaulan kita baik-baik saja dalam keseharian dengan bingkai kemajemukan. Sedangkan siswa tidak pernah melihat gurunya yang berbeda agama duduk berdampingan dengan guru agama yang lain dalam memberikan materi di kelas. Apalagi melihat semua guru agama dari keseluruhan agama yang sah di Indonesia memberi materi di kelas secara bersama di waktu yang sama. Sebagian masyarakat pun tetap memiliki perasaan was-was dan alergi jika anaknya terlalu dekat dengan ilmu dan materi dari agama lain. Di lain sisi mereka memiliki kesadaran yang prematur terhadap pemandangan ini. Terkadang berkesadaran bahwasanya pengetahuan dan ajaran semua agama itu baik. Karena secara umum, nilai kebaikan universal ada di setiap agama. Akan tetapi orangtua juga tetap khawatir jika anaknya terkontaminasi dengan ajaran dari agama lain. Guru tetap menjadi faktor utama yang seharusnya mampu diberikan kepercayaan mengatasi keraguan-keraguan ini.
Hal di atas sebenarnya sejalan dengan keinginan Menteri Agama RI yang mengharapkan di setiap acara di Kementerian Agama yang berlangsung bisa memberikan kesempatan untuk diisi dengan doa dari semua agama yang ada di Indonesia. Kementerian Agama bisa menjadi rumah untuk semua agama. Begitupun dengan negara kita nantinya, melalui pendidikan, negara kita Indonesia nantinya bisa menjadi rumah untuk semua agama yang ada di Indonesia.
Dengan danya beberapa guru agama yang berbeda diharapkan untuk membuka peluang saling berinteraksi satu sama lain, berdialog, dan berbagi ajaran serta pengalaman iman dalam suatu kelompok rumpun mata pelajaran agama. Pelajaran dan pendidikan agama semakin diperkaya dengan adanya berbagai perbedaan. Adagium: “kesatuan dalam keberbagaian” menjadi hal yang bukan mustahil diwujudkan. Suasana ini akan mendorong perilaku inklusif untuk bertoleransi dan membangun sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan.
Nilai-nilai pluralitas dapat berkembang yang pada akhirnya terhindar dari perilaku fanatisme sempit, bahkan dapat dihindari perilaku radikalisme keagamaan. Sistem ini bukan merupakan seuatu kemunduran atau ancaman. Akan tetapi justru akan menjadi suatu langkah bijaksana dan maju menuju sikap beriman yang inklusif dalam suatu tatanan komunitas yang beriman. Sekolah swasta umum dengan ciri keagamaan memiliki hak otonom untuk menerima guru agama yang akan mengampuh mata pelajara. Misalnya sekolah Katolik yang menerima guru agama Islam, Kristen, Hindhu, dan Budha. Demikian juga yang lainnya. Sekolah harus membina dan memperhatikan isi (konten) materi pelajaran yang diberikan. Sekolah swasta keagamaan harus memastikan guru agama tersebut berwawasan inklusif, humanis, memenuhi kecerdasan yang memadai, dan membantu proses umtuk mewujudkan sikap dan perilaku hidup keagamaan dan kemanusiaan para peserta didik. Sekolah harus memastikan terjaminnya muatan materi dan proses pembelajaran agama yang yang bertujuan untuk membentuk sikap dan perilaku yang berdasar pada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Duduk bersama dengan segala perbedaan tetapi dengan satu substansi yang terjelaskan dengan nyata. Pemandangan seperti inilah yang diharapkan, kemajemukan yang penuh dengan kebersamaan harus hadir secara langsung terhadap peserta didik. Agar terbiasa dengan perbedaan yang sebenarnya memiliki kesamaan yang kuat. Karena kalau tidak maka akan berpotensi nantinya ketika dewasa dan berada di pendidikan yang lebih tinggi akan sangat mudah terdoktrin dengan paham-paham yang ekslusif yang dapat memunculkan fanatisme yang sempit. Yang diharapkan melalui pendidikan adalah hidup berdampingan dalam kebhinekaan yang berperi kemanusiaan.
Kesadaran akan terbangun dalam kebersamaan. Pendidikan agama menjadi salah satu titik yang memiliki penekanan berbeda dalam dunia pendidikan di Indonesia. Membangun sinergitas antara masyarakat dan pemerintah adalah kekuatan dan merupakan tanggung jawab bersama. Tidak mudah terprovokasi dengan informasi yang mengadu domba adalah harapan dalam dunia yang penuh dengan perbedaan dan kemajemukan.
Karena secara umum, pendidikan agama dalam membentuk karakter bangsa digulirkan sebagai respon terhadap adanya perubahan dan perkembangan zaman. Konsep pendidikan dalam kemajemukan terdiri dari dua dimensi utama yakni nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keagamaan. Nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam pendidikan ditujukan untuk mendorong sikap dalam menghadapi kemajemukan masyarakat. Adapun nilai-nilai keagamaan dapat berfungsi sebagai pagar yang membatasi ruang gerak agar tidak menyimpang. Penyatuan kedua unsur nilai ini harus diterapkan dengan baik dalam sistem pendidikan nasional karena bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai ketuhanan yang terintegrasi dalam Pancasila. Dengan demikian, upaya mewujudkan karakter bangsa sesuai dengan yang diinginkan dapat tercapai.
Hidup dengan falsafah bhineka tunggal ika adalah puncak moralitas dalam kemajemukan. Moral bangsa dipertaruhkan pada agama dan nilai-nilai pancasila yang sangat agamis. Keunikan dalam perbedaan adalah warna tersendiri dalam menghadirkan kekuatan bangsa. Implementasi pendidikan agama yang bermoral dalam memkanai kemajemukan adalah nasionalisme yang nyata. Moral bangsa dapat ditentukan oleh kesadaran berpancasila. Kesadaran berpancasila juga dapat ditentukan oleh pengetahuan pendidikan agama. Karena kita paham bersama bahwa semua agama mengajarkan kesadaran berpancasila yang sama.(citizen reporter)