Penulis : Lutfie Natsir, SH. MH, CLa
“Pemerintah daerah dapat memberikan hibah setelah mendapatkan persetujuan dari DPRD yang selanjutnya harus dianggarkan dalam APBD, kegiatan belanja hibah yang dianggarkan dalam APBD harus sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang – undangan.”
Kebijakan belanja daerah dilaksanakan berdasarkan urusan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terdiri atas: urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib yang tidak terkait pelayanan, serta urusan pilihan yg kesemuanya berjumlah 32 urusan, berdasarkan ketentuan PP 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 23 ayat (2) APBD disusun dengan mempedomani KUA – PPAS yang didasarkan pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah, dan pasal 111 dibunyikan, Evaluasi APBD dilakukan untuk menguji kesesuaian rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD dengan yaitu ketentuan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara ( PPAS ) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dengan demikian wajib hukumnya bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan kewajibannya melaksanakan urusan pemerintahan yang diatribusi dalam UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang dituangkan dalam Renstra dan Renja Organisasi Perangkat Daerah selaku pembantu Kepala Daerah melaksanakan urusan pemerintahan.
Selain itu pemerintah daerah dapat pula memberikan hibah setelah mendapatkan persetujuan dari DPRD yang selanjutnya harus di anggarkan dalam APBD. Kegiatan belanja hibah yang dianggarkan dalam APBD harus sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang – undangan. Dengan demikian apabila belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan telah dipenuhi untuk diprioritaskan maka daerah dapat menyelenggarakan pemberian bantuan hibah. Pada hakikatnya, bantuan hibah dan bansos hanya menstimulasi kabupaten / kota untuk pelaksanaan urusan pemerintahan wajib maupun urusan pemerintahan pilihan di daerahnya hanya bersifat komplementer, tidak terus menerus diberikan hibah dan tidak mengikat.
Definisi dari dana hibah adalah untuk bantuan yang berkaitan dengan program dan sasaran atau kegiatan untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan, bantuan sosial adalah bantuan yang diperuntukkan kepada individu, kelompok atau masyarakat untuk melindungi resiko sosial, sedangkan bantuan keuangan diperuntukkan untuk pemerataan peningkatan kemampuan keuangan daerah.
Politik anggaran merupakan salah satu bagian terpenting dari tata kelola keuangan negara ataupun daerah. pengaruh politik dalam anggaran tak hanya pada tahap penyusunan saja, namun juga pada pengelolaannya. Pengelolaan anggaran tersebut mulai dari tahap perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, hingga pertanggungjawaban, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2003. Arti politik anggaran politik anggaran adalah penetapan kebijakan-kebijakan tentang proses anggaran yang meliputi berbagai pertanyaan, seperti bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan didistribusikan; siapa yang diuntungkan; dan peluang yang tersedia, baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk meningkatkan pelayanan publik. Secara umum, politik anggaran dapat diartikan sebagai proses politik yang terjadi dalam penentuan dan pengalokasian anggaran publik. Tujuan dari politik anggaran adalah untuk membelanjakan uang rakyat secara tepat, terarah, berkeadilan, dan memenuhi rasa kemanusiaan demi mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan makmur. Secara fundamental telah ditegaskan dalam Pasal 23 Ayat 1 UUD 1945 bahwa tujuan akhir pembelanjaan APBN dan APBD, yang sesungguhnya merupakan uang rakyat Indonesia, adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, tujuan politik anggaran adalah untuk menemukan arah dan prioritas sasaran pembangunan daerah, serta dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang pelaksanaannya harus sesuai dengan program yang telah disusun, dan berdasarkan ketentuan perundang undangan, dan kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan sangat berkepentingan dan bertanggung jawab serta memegang peranan yang sangat strategis atas hal tersbut, namun sayangnya, dalam pelaksanaannya, politik anggaran dapat digunakan sebagai alat dalam proses politik di mana dalam proses tersebut kerap terjadi lobi-lobi dan berbagai macam negoisasi dan kepentingan yang sifatnya sangat pragmatis untuk kepentingan masing masing pihak yang dibungkus dalam bingkai politik anggaran.
Sistem pengelolaan keuangan pada kenyataannya belum berkembang menjadi lebih baik, dalam arti dapat meminimalkan kebocoran, oleh karena itu sebabnya, pengeluaran dan penggunaan keuangan itu harus dibahas dan disetujui sekaligus dikontrol oleh atau DPRD, dan akuntabilitasnya harus bisa dipertanggungjawabkan melalui audit BPK atau BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)
Masih buruknya sistem pengelolaan keuangan daerah berdasarkan laporan keuangan pemerintah daerah, terdapat pendapatan, bagi hasil, dan dana bantuan pusat yang dikelola pemimpin daerah atau instansi di luar sistem APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) belum berjalan sebagaimana mestinya, seiring dengan masih terjadinya penyalahgunaan keuangan daerah, banyak kalangan sangat mungkin sepaham bahwa sistem pengelolaan seperti itu membuka peluang lebih besar bagi terjadinya penyalahgunaan dengan, antara lain, berupa korupsi. Ada banyak dalih -semua bisa rasional- tentang sistem pengelolaan keuangan di luar APBD. Tetapi, juga siapa pun paham bahwa sistem seperti itu merupakan penyimpangan. Dan, penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sangat dekat dengan praktik korupsi. Mengapa demikian? Pengelolaan keuangan daerah melalui APBD ditentukan melalui peraturan daerah (perda). Jadi, dasar hukumnya sangat jelas. Dalam hal ini pengelolaan keuangan daerah di luar APBD adalah melanggar hukum atau peraturan. Mengapa pengelolaan keuangan daerah dipusatkan ke dalam sistem APBD, ini karena uang yang dikumpulkan daerah adalah uang rakyat dan harus dibelanjakan sebesar-besarnya untuk keperluan rakyat. Konsekuensinya, semua penggunaan uang itu harus transparan dan memenuhi asas akuntabilitas. DPRD yang merupakan representasi mewakili rakyat harus tahu dengan jelas pengeluaraan uang itu untuk keperluan apa saja yang berkaitan dengan mereka (rakyat). Karena itu, semua pengeluaran dan penggunaan keuangan daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya -sesuai keperluan dan kebutuhan rakyat dalam APBD. Itu sebabnya, pengeluaran dan penggunaan keuangan itu harus disetujui sekaligus dikontrol oleh DPRD. Di atas itu akuntabilitasnya harus bisa dipertanggungjawabkan melalui audit BPK atau BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan).
Asas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa belum menjelma sebagai bagian inheren dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal demikian patut disesalkan. Sebab, di satu pihak aparat pemerintah sering mengatakan telah melakukan langkah-langkah pencegahan untuk menekan terjadinya kebocoran. Namun, di pihak lain justru sistem pengelolaan keuangannya tidak berada di rel yang benar. Membuka peluang terjadinya kebocoran, korupsi, melanggar hukum, dan peraturan. berulangnya tindak pidana korupsi yang menjerat penyelenggara negara menunjukkan masih adanya persoalan tata kelola dalam penganggaran di daerah. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik mendesak diterapkan agar setiap uang negara yang dipergunakan dapat dipastikan untuk kesejahteraan rakyat.
Demikian sekadar kami sampaikan semoga bermanfaat dan menjadi ladang amal ibadah, Wallahu A’lam Bishawab, Jazakkalahu Khairan.(rls)