TAJRIANI THALIB, PELESTARI ALAT MUSIK TRADISIONAL KECAPI MANDAR, SULAWESI BARAT

TAJRIANI THALIB, PELESTARI ALAT MUSIK TRADISIONAL KECAPI MANDAR, SULAWESI BARAT
PENTAS. Tajriani Thalib saat menampilkan kesenian tradisional Kecapi Mandar pada acara Makassar International Writers Festival, pada sesi A Cup of Poetry.

BERWAJAH oreintal dengan bakat seni yang mumpuni menjadikan Tajriani Thalib sebagai salah satu perempuan volunter alat musik tradisional Kecapi Mandar Sulawesi Barat.

LAPORAN: MAHATIR MAHBUB

Bacaan Lainnya

MAKASSAR

Kecapi Mandar atau kacaping tobaine adalah alat musik petik khas suku Mandar Sulawesi Barat. Kecapi Mandar memiliki bentuk seperti kecapi pada umumnya, namun Kecapi Mandar yang dimainkan oleh perempuan memiliki bentuk berbeda.

Kecapi Mandar yang digunakan perempuan berbentuk melengkung, sehingga pemainnya harus mengangkat kaki untuk mendekatan kecapi ke badan. Kecapi Mandar dahulu kala dimainkan sebagai pelipur lara, biasanya oleh wanita Suku Mandar saat berada sendirian di rumah.

Penciptaan alat musik ini terilhami suara indah yang dihasilkan tali layar perahu, yang didengar para nelayan saat mengarungi lautan. Kekuatan pertunjukan kecapi ada pada keselarasan antara petikan dawai dan kekuatan syair.

Tiga tema yang dituturkan dalam kacap Mandar adalah tollo yang bercerita tentang kepahlawanan, tedze yang berisi pujian atau penghargaan pada seseorang, dan masala yang berupa nyanyian keagamaan.

Walaupun terdapat tiga tema utama tersebut, dalam pertunjukan, pakacaping (pemain kacaping) dituntut untuk mengembangkan petikan dawai dan syair yang dia tangkap dari situasi masyarakat dan suasana penonton saat pertunjukan berlangsung.

Sayang, Kecapi Mandar saat ini sudah sangat sulit dijumpai. Bahkan, terancam punah bila tidak dilestarikan segera. Ada dua nama Maestro Kecapi Mandar yang sangat terkenal, yaitu Santuni dan kakak perempuannya Maryama. Dari keduanya lah Tajriani Thalib menimba ilmu.

Tajriani adalah sebagian kecil perempuan muda Mandar yang mau menyelami alat musik kecapi. Mahasiswi Semester III Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, ini menceritakan awal dirinya menyenangi Kecapi Mandar.

Anak pertama dari tujuh bersaudara ini mengaku mulai mengenal Kecapi Mandar pada tahun 2011. Di pentas  komunitas Teater Flamboyant di Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali, Sulawesi Barat.

“Acara di Pambusuang itu memang pementasan pakkacaping, yang merupakan pengkajian tugas akhir seorang teman dari jurusan Seni Universitas Negeri Makassar (UNM). Kebetulan, dia satu panggung dengan maestro Kecapi Mandar. Saat itu, saya belum tertarik belajar kecapi,” ujarnya.

Di sela-sela pentas tersebut, Tajriani bertemu dengan salah satu pakkacaping tobaine (pemain kecapi perempuan) bernama Amma Santuni. “Beliau sempat cerita soal Kacapi Mandar. Dan, ketika itu saya disuruh belajar,” ungkapnya.

Lalu diperbincangan itu terungkap bila tak banyak lagi belajar kecapi Mandar. “Beliau mengutarakan bahwa tidak ada lagi yang belajar kesenian tradisional ini. Waktu itu, saya hanya mendengarkan dan belum ada niat belajar,” ujarnya.

Niatnya belajar Kecapi Mandar mulai terbuka pada akhir tahun 2014. Ketika itu, Tajriani bermaksud mengikuti seleksi Pertukaran Pemuda Antar Negara di Mamuju. Persyaratannya, peserta harus memiliki kemampuan di bidang seni tradisional yang akan dipentaskan.

“Saya sempat bingung mau belajar kesenian apa. Setelah saya ingat kembali, yang terlintas adalah Kecapi Mandar. Apalagi latarbelakang saya adalah vokalis, jadi memang masuk ,” ungkapnya.

Saat itulah, Tajriani harus bolak-balik dari kediamannya di Desa Lekopadis, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali, Sulawesi Barat, ke rumah maestro kecapi di Desa Renggeang, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali untuk belajar.

“Saya pertama kali belajar di rumah Amma Satuni atau Marayama. Sebenarnya saya mau intens belajar ke pakkacaping tobaine,” ungkapnya.

Walaupun kemudian ia tak lolos dalam seleksi tersebut, Tajriani mengaku justru makin kepincut dengan Kecapi Mandar itu. Hingga menjadi keterusan.

Sehingga, setiap ada waktu disempatkannya untuk belajar kecapi. Ditambah lagi, Kecapi Mandar bila tak dilestarikan bisa ditelan waktu lalu punah.

“Kesenian tradisional seperti ini kalau sampai punah kan sangat disayangkan. Saya menganggap mungkin inilah salah satu kontribusi yang bisa saya lakukan dan berikan untuk suku saya,” tegasnya.

Kegundahan Tajriani terhadap kelangsungan Kecapi Mandar, berbuah manis. Perempuan kelahiran 24 Mei 1994 ini bisa berjalan ke luar negeri dan berada di atas panggung event-event nasional dan internasional.

Tajriani diberi ruang untuk menampilkan kesenian tradisional Kecapi Mandar pada acara Makassar International Writers Festival, pada sesi A Cup of Poetry.

Kemudian di Bangkok, Thailand, Tajriani sebagai duta pariwisata Sulawsi Barat dengan mementaskan kesenian tradisional Pakkacaping Tobaine dalam acara Wonderful Indonesia Festival.

Selanjutnya, di tahun 2014, Tajriani menjadi Duta Kesenian Tradisional (Pakkacaping Tobaine), pada acara The 3rd Erau International Folk Arts Festival (EIFAF), Tenggarong, Kabupati Kutai Katanegara, Kalimantan Timur.

Raih Berbagai Penghargaan

Prestasinya juga mulai bersinar, misalnya 2013 lewat Asian Pacific Choir Games berhasil meraih medali emas tinggi pada kategori Folklor (musik tradisi), bersama Paduan Suara Mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM), 8-18 Oktober, Manado, Sulawesi Utara.

Aktivitasnya pada seni tradisi juga membuatnya diganjar beberapa penghargaan seperti tahun 2016 Conseil International des Organisations de Fetival de Folklore (CIOFF) et d’Arts Traditionnels Indonesia Section : Liaison Officer of South Korea Group in Polewali Mandar International Folk and Art Festival (PIFAF), Polewali Mandar, Indonesia.

Lalu di tahun 2017 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia meraih penghargaan Delegasi Sulawesi Barat pada Ekspedisi Jalur Rempah, di Provinsi Maluku.

Juga Penghargaan dari Gubenur Sulawesi Barat, Tajriani diberi penghargaan sebagai Pemuda Pelopor Bidang Pemerhati Seni dan Kebudayaan Sulawesi Barat tahun 2017.

Kini Tajriani tak ingin berhenti belajar. Dia bisa memainkan kecapi mengikuti iramanya. Saat diminta salah satu liriknya, Tajriani pun bersedia.

“Pabanua tattanga awaya rapang nurung mi’atalle di banua. Yanasang inggana hader, upalambi upauangang datia dialesei pau tongang malimbong, inggae ditunggai jamangang pamarentata. Dirondoi mappajari kappung mapaccing banua masarri kasturi”.

Artinya, Rakyat menanti cahaya seperti cahaya dari langit yang jatuh ke bumi. Semua yang hadir, saya sampaikan, saya katakan janganlah kiranya meninggalkan dalamnya kejujuran, mari (sengaja) mendukung kesungguhan (kerja) pemerintah. Menemaninya mewujudkan negeri yang indah lagi semerbak seperti kesturi).

Terakhir, Tajriani mengajak para generasi muda untuk terus melestarikan budaya bangsa, yakni menghadirkan budaya itu ke dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, anak muda lah yang memegang peranan penting dalam pelestarian budaya bangsa.

“Sebisa mungkin, ke mana pun kita pergi, budaya bangsa harus tetap melekat dalam diri kita. Jangan sampai anak cucu nantinya tidak tahu lagi budaya bangsanya. Salah satunya Kecapi Mandar.(*)