Belum lama ini terbit buku biografi mantan Rektor UNHAS, Prof. Dr. dr. Idrus Andi Paturusi, Sp.B, Sp.OT yang sempat viral di media sosial. Buku biografi yang ditulis oleh Sili Suli, mantan wartawan Harian Ujungpandang Ekspres – dan Hurry Hasan- itu, berjudul Dokter di Medan Lara. Buku seberat 2 kg ini lebih banyak mengupas kiprah Prof. Idrus Paturusi selaku seorang dokter dan kiprahnya dalam bidang kemanusiaan, daripada kiprah Idrus sebagai rektor. Rasanya, publik Makassar sudah lama tahu bahwa Idrus Paturusi merupakan salah seorang dokter yang kerap terjun dalam berbagai misi kemanusiaan di berbagai medan lara.
Idrus Paturusi adalah seorang anak tentara. Ayahnya bernama Andi Paturusi, seorang perwira menengah dan masih memiliki darah bangsawan asal Pinrang. Sedangkan ibunya bernama Siti Hasnah Karaeng Caya berasal dari Bantaeng. Idrus lahir di Makassar pada tanggal 31 Agustus 1950 dan merupakan anak sulung dari delapan bersaudara. Masa kecilnya dilalui dengan berpindah-pindah sekolah mengikuti perjalanan tugas ayahnya yang beberapa kali ditugaskan ke Jakarta. Idrus tercatat pernah belajar di lima sekolah dasar, baik di Jakarta dan Makassar. Setelah lulus SD, barulah Idrus Paturusi bisa belajar secara ‘utuh’ di SMP Frater Makassar hingga selesai. Tamat SMP, Idrus masuk ke SMA Katolik Cendrawasih Makassar, sekolah dimana dia dikenal sebagai murid yang jago berkelahi.
Kebiasaannya berkelahi mulai memudar setelah Idrus masuk kuliah di Fakultas Kedokteran UNHAS. Peranan dan sentuhan ibunya yang sabar dan lemah lembut, membuat Idrus berubah menjadi seorang anak yang giat dan tekun belajar, hingga akhirnya mampu menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar dokter. Setelah berhasil meraih gelar Dokter, Idrus terus mendalami bidang keilmuannya. Atas dorongan Prof. Chairuddin Rasyid, Idrus berangkat ke Singapura untuk mengikuti post graduated orthopaedic training selama setahun. Setelah itu dia melanjutkan pendidikan spesialis bedah tulang di UI dan berhasil menjadi dokter spesialis tulang tahun 1984. Idrus pernah ke Perancis untuk mengikuti post graduated orthopaedic training tahun 1986 hingga 1987, dan ke Jepang, waktu mengikuti sandwich program UNHAS & Hiroshima University untuk meraih gelar Doktor tahun 1999.
Idrus mengawali karirnya sebagai dokter praktik di beberapa rumah sakit di Makassar, kemudian mulai aktif di organisasi. Dia pernah menjadi Ketua IDI Makassar, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Bedah Orthopaedi Indonesia (PABOI), dan aktif di berbagai organisasi profesi lainnya. Di dalam kampus, Idrus mengawali karirnya pada tahun 1984 sebagai staf fakultas. Satu dekade kemudian naik menjadi Pembantu Dekan III. Setelah itu dia terpilih menjadi Dekan, sampai akhirnya menjadi Rektor UNHAS selama dua periode. Idrus pernah terpilih menjadi Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia (MRPTNI) dan President ASAIHL (Asosiasi Perguruan Tinggi se-Asia Tenggara).
Jiwanya sangat peka bila terjadi bencana alam dan hati kecilnya selalu terpanggil untuk turun membantu sesama yang menjadi korban bencana alam. Kiprah besarnya dalam misi kemanusiaan dimulai pada tahun 1992, ketika gempa bumi dashyat melanda Flores dan memakan korban jiwa lebih dari 2000 orang. Pada saat itu, Idrus datang bersaa dokter-dokter dari UNHAS dengan meng-atasnama-kan Brigade Siaga Bencana Indonesia Timur (BSBIT).
Dari Flores, misi kemanusiaan Idrus terus berlanjut. Pada tahun 1996 Toli-Toli diguncang gempa tektonik berkekuatan 7 skala richter. Idrus bersama dr. Syarifuddin Wahid melakukan misi kemanusiaan di sana. Tahun 1999 saat konflik horizontal pecah di Ambon, Idrus bersama dr. Muhammad Nuralim Mallapasi, dr. Robert Mailissa, dr. Faridnam, dr. Nurdin Perdana, dr. Abdul Azis, dr. Fauzi Atamimi dan dr. Ibrahim Marupai, serta seorang perawat Achmad Badwi datang ke Ambon. Mereka datang dengan misi untuk membantu siapapun yang terluka tanpa pandang buluh.
Tak lama setelah pulang dari Ambon, Idrus bersama beberapa relawan kemanusiaan UNHAS dan AMDA ke Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara untuk melayani para pengungsi yang melakukan eksodus dari Timor-Timur.
Masih banyak catatan soal sepak-terjang Idrus Paturusi di medan lara. Mulai dari gempa di Bengkulu tahun 2000, perang Amerika versus Taliban di Pakistan tahun 2001, eksodus TKI di Nunukan tahun 2002, gempa bumi di Iran tahun 2003, gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004, gempa di Nias tahun 2005, gempa di Yogyakarta tahun 2005, gempa di Padang tahun 2009, gempa dan tsunami di Jepang tahun 2011, gempa di Pidie Jaya Aceh tahun 2016, ‘bencana’ gizi buruk di Asmat, gempa di Lombok dan ‘bencana’ trisula di Palu-Donggala-Sigi tahun 2018. Bahkan di saat pandemi covid 19 sekarang ini, Idrus Paturusi tetap bergerak dari rumahnya untuk menggalang bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan tim medis di RS UNHAS.
Buku ini merupakan salah satu biografi yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kiprah Idrus Paturusi di medan lara membuka mata bahwa kemanusiaan adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu tertanam dalam hati sanubari setiap orang. Idrus Paturusi telah membuktikan bahwa dirinya selama hampir 3 dekade selalu hadir melakukan aksi kemanusiaan di berbagai medan bencana, tempat dimana duka dan lara sedang berkecamuk. Tidak salah bila Sili Suli memberi judul Dokter di Medan Lara, sekaligus ‘gelar tambahan’ ini bagi Prof. Idrus Paturusi. Dia memang seorang ‘Dokter di Medan Lara’. (*)