MAKASSAR,UPEKS.co.id— Perkembangan teknologi informasi semakin berkembang pesat. Bahkan pengaruhi pola hidup manusia. Data Global Digital Report 2019, Januari 2019, penduduk Indonesia telah mencapai 268,2 juta jiwa dengan penetrasi internet mencapai 150 juta atau 56 persen.
Adapun durasi yang digunakan rata-rata akses internet 8 jam 36 menit, penggunaan sosial media 3 jam 26 menit.
Sementara itu penggunaan televisi 2 jam 52 menit dan streaming musik 1 jam 22 menit.
Yang menjadi kekhawatiran dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa sebagian besar dari 56 persen pengguna internet di Indonesia tidak menyadari bahaya mengintip dari setiap aktivitasnya di ruang maya ini.
Setiap informasi yang dibagikan oleh para pengguna internet ketika berinteraksi sangat berpotensi untuk disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tanpa persetujuan pemilik data atau subyek data.
Oleh karena itu, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan dan KOPEL Indonesia menggelar diskusi di Four Points by Sheraton Makassar, Senin (16/12/2019). Yang mana kegiatan ini dalam rangka memberikan advokasi kebijakan Program INSPIRE.
Menurut Prof Marwan Mas, akhir-akhir ini demokrasi kita dipersempit hadirnya undang-undang ITE. Masyarakat yang kritis ingin dibungkam.
“Dalam demokrasi, akhir-akhir ini UU ITE mempersempit ruang untuk menyampaikan pendapat. Pembahasan RUU PDP, jangan sampai justru juga seperti UU ITE yang ingin membungkam suara warga yang kritis, oleh karenanya harus ada uji publik bagi warga dalam penyusunannya,” ucapnya.
Deputi Direktur Riset ELSAM, Wahyudi Djafar mengatakan, terdapat 30 regulasi yang mengatur mengenai tata kelola data pribadi. Namun, regulasi yang tersedia masih menerapkan standar dan mekanisme yang berbeda dalam memperlakukan data pribadi warga.
Sangat disayangkan lagi, terkadang negara memberikan akses pada pihak ketiga untuk menggunakan data pribadi masyarakat tanpa menyiapkan mekanisme pengawasan yang jelas.
“Pengamanan terhadap data pribadi yang sensitif, harus dilindungi dan dirahasiakan oleh negara, tidak dibagikan apalagi tanpa persetujuan pemilik data,”imbuhnya.
Ditempat yang sama, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Maria Louisa mengatakan, kalau bukti elektronik dalam penegakan hukum masih belum maksimal digunakan.
“Itu dikarenakan kerangka hukum saat ini belum mengakomodir bukti elektronik sebagai bukti yang sah dalam penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia,”cetusnya. (mit)
